Alasan Pasar Tanah Abang Sepi Bukan Karena TikTok Shop

by -4281 Views

Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM), Teten Masduki, memberikan keterangan mengenai penyebab sepinya pengunjung di Pasar Tanah Abang. Teten membantah bahwa aplikasi TikTok menjadi penyebab sepinya pasar tersebut, dan menyebut masalahnya lebih terkait dengan banjirnya barang-barang impor dengan harga murah. “Enggak bisa pertentangkan kematian (Pasar) Tanah Abang dengan TikTok. Karena Tanah Abang pun dari dulu sudah jualan online, live shop, dan multichannel, sudah. Ini masalahnya masuk barang-barang dari luar yang sangat murah,” kata Teten saat ditemui wartawan, Selasa (24/10/2023).

Teten mengaku, sekalipun para pedagang Tanah Abang sudah merambah ke platform daring, mereka masih kalah dibandingkan para penjual yang memberikan harga sangat murah. Teten melihat banyak barang-barang yang dijual dari luar negeri dengan harga murah, padahal kualitasnya buruk.

Selain itu, Teten melihat para pedagang yang berjualan secara live shopping juga kalah dibandingkan para artis. “Live shopping juga mereka jualan. Namun, live shopping kalau tidak pakai artis siapa yang mau nonton. Begitu live shopping saya lihat, oh tidak ada yang nonton,” ujar Teten.

Oleh karena itu, menurutnya masyarakat jangan dibodoh-bodohi tentang pasar offline yang kalah dengan online.

Sementara itu, Pakar Ekonomi Digital FEB UI Ibrahim Kholilul Rohman menyampaikan, kondisi ini tidak hanya dialami oleh Pasar Tanah Abang, tetapi juga dialami hampir di semua sentra perdagangan retail Jakarta, seperti Glodok, Cipulir, Thamrin City, dan Ratu Plaza.

Menurut dia, faktor yang berpengaruh pada menurunnya aktivitas jual beli ini disebabkan oleh aspek demand (permintaan) dan aspek supply (penawaran) yang bekerja secara bersama-sama.

Dari sisi demand, Ibrahim mengatakan proporsi pengeluaran rumah tangga terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) memang cenderung melemah. Proporsi konsumsi rumah tangga terhadap PDB pada pertengahan tahun 2023 adalah proporsi terendah dalam sepuluh tahun terakhir. “Konsumen cenderung mengalami penurunan kemampuan daya beli dari beberapa aspek, seperti dampak krisis akibat Covid-19 yang belum sepenuhnya pulih, sehingga perekonomian grass root belum benar-benar rebounding. Masyarakat lebih berhati-hati (precaution), ditandai dengan peningkatan tabungan di bawah Rp 5 miliar,” kata dia.

Dari sisi supply, sebut dia, masuknya barang-barang impor dari luar negeri, terutama dari China yang jauh lebih murah diperjualbelikan melalui platform digital, turut menyebabkan barang-barang yang dijual secara langsung, seperti di pasar atau offline menjadi kurang bersaing dari sisi harga.