Siasat Menjegal Trauma Pascabencana – prabowo2024.net

by -130 Views

Trauma bisa terjadi pada setiap korban atau penyintas dari suatu kejadian bencana. Namun, tidak semua penyintas akan mengalami fase tersebut. Palupi Budi Aristya atau Upi (21 tahun) akhir-akhir ini dirundung was-was. Aktivitas Gunung Merapi, Jawa Tengah yang meningkat, menimbulkan kengerian yang mendalam baginya, lebih dari pada orang lain. Ingatan masa kecilnya tentang peristiwa besar pada 2010 lalu, mudah memicu ketakutan ketika menemukan momentumnya lagi. Pada saat itu, Upi dan keluarganya harus mengungsi dan meninggalkan rumah mereka yang hancur dalam rangkaian letusan terbesar Merapi. “Waktu itu saya masih kelas 3 SD. Yang paling membekas adalah saat kita disuruh mengungsi. Alhamdulillah sekeluarga aman semua. Traumanya mungkin lebih karena posisinya panik pasca letusan, mengungsi, dan takut itu terulang lagi,” ungkap Upi.

Pada 2010, letusan Merapi menyebabkan kerusakan yang masif di selatan lereng, termasuk rumah Upi yang hancur dan diselimuti abu. Setelah lebih dari sepuluh tahun berlalu, kenangan itu kembali menghantui. Upi telah pindah ke sebuah rumah baru di wilayah Cangkringan yang masih berjarak sekitar 10 km dari Merapi. Meskipun begitu, dia masih merasa cemas dan takut karena aktivitas gunung meningkat dalam beberapa hari terakhir, dan dia merasa panik setiap kali terdengar suara letusan. Apakah Upi mengalami trauma? “Rasa paniknya ada. Takut itu masih ada, cuma ya normal panik ketika ada letusan lagi,” ucap Upi.

Ketakutan yang dirasakan Upi mudah dimengerti, mengingat pengalamannya berhadapan dengan peristiwa letusan 12 tahun lalu. Namun, bagi Upi, dia masih bisa menjalani kesehariannya dengan normal meski kadang ketakutan muncul. Upi adalah contoh yang tepat sebagai penyintas yang mampu pulih dengan baik dari fase stres dan frustasi akibat kejadian luar biasa, seperti letusan gunung berapi.

Di sisi lain, Aris (27 tahun), penyintas bencana gempa dan tsunami Aceh tahun 2004, memiliki pengalaman yang jauh lebih sulit dan panjang dalam bergelut dengan trauma akibat bencana alam. Ketika tsunami, Aris masih seorang anak-anak, tetapi ingatan akan kejadian itu masih jelas baginya. Mereka harus berlari ke puncak bukit, dan menyaksikan kota tersapu gelombang tsunami. Rumah mereka yang berada tepat di bibir pantai, rata ditelan gelombang. “Waktu itu, kita stres, karena sering melihat mayat tiap hari, dan trauma dengan laut. Sampai SMP, saya masih takut melihat ombak, takut kalau mati lampu, takut ketika ada gempa. Setelah kejadian itu sering gempa-gempa susulan, itu saya terus menangis,” cerita Aris.

Ketakutan akan gelap dan laut, selain berkorelasi dengan peristiwa gempa dan tsunami, juga turut dibentuk oleh pengalaman hidup dekat dengan wilayah konflik Gerakan Aceh Merdeka. Setelah bertahun-tahun, Aris berhasil keluar dari fase traumatik itu. Salah satu yang membantunya adalah pendampingan psikologis yang dia terima dari berbagai relawan dan pendamping dalam pemulihan pascatsunami. Kini, setelah dewasa, ia mengaku sudah kembali berdamai dengan laut dan mampu melakukan kegiatan diving dan snorkeling. Namun, masih ada satu gejala traumatik pada Aris yang belum hilang, yaitu ketakutan akan ketinggian.

Dampak psikologis yang dirasakan setelah kejadian bencana adalah sesuatu yang wajar dan normal dalam situasi tidak normal (bencana), menurut Wahyu Cahyono, seorang praktisi Psikologi Kebencanaan. Orang yang mengalami bencana akan merasa linglung, panik, ataupun terlihat murung, karena itu adalah dampak dari pengalaman luar biasa yang dialami. Hampir semua orang normal akan merasakan kesedihan yang besar dalam situasi seperti ini. Korban memerlukan dukungan psikologis yang dapat berasal dari dalam komunitas atau dari pihak eksternal seperti para relawan yang membantu di lokasi bencana.

Dukungan psikososial ini unik karena berbeda dengan bentuk dukungan pada umumnya yang muncul saat kejadian bencana. Tak ada sembako, obat-obatan, atau fasilitas fisik yang diberikan. Dukungan ini memiliki peranan penting dalam menentukan apakah seseorang akan dengan cepat beradaptasi dengan keadaan atau malah tenggelam dalam kesedihan dan perasaan sendiri.

Relawan adalah pihak yang menjadi pendukung potensial untuk ‘menyelamatkan’ korban bencana yang sebelum tenggelam ke level trauma. Dukungan psikososial ini berupa kegiatan bermain, permainan kelompok, sesi cerita, dan kegiatan edukasi tentang kebencanaan dan nilai-nilai sosial yang disertakan. Ini membantu korban bencana untuk mengelola dampak psikologis yang mereka rasakan akibat bencana. Dukungan ini memiliki peranan penting dalam menentukan apakah seseorang akan dengan cepat beradaptasi dengan keadaan atau malah tenggelam dalam kesedihan dan perasaan sendiri. Kesadaran akan pentingnya dukungan psikologis awal bagi korban bencana perlu ditingkatkan dalam masyarakat. Para relawan, baik dari komunitas maupun lembaga donor, juga perlu memperhatikan peran penting mereka dalam membantu korban bencana mengatasi dampak psikologis yang mereka alami.

Source link