LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [PRESIDENT SUKARNO]

by -33 Views

Dalam sejarah Indonesia, beberapa ksatria telah menunjukkan keberanian dan ketahanan mereka. Para ksatria yang berani bertarung melawan penjajah asing daripada tunduk atau tunduk kepada kekuasaan asing yang sombong dan congkak. Salah satu ksatria yang menjadi panutan saya adalah Presiden pertama Republik Indonesia, Bung Karno. Beliau adalah seorang intelektual, orator, dan pengorganisir yang hebat. Ada banyak hal yang dapat kita pelajari dari Presiden Indonesia pertama, Presiden Soekarno. Pelajaran yang saya pelajari dari beliau bisa menjadi sebuah buku tersendiri. Bung Karno lahir di Surabaya pada tahun 1901. Pada tahun 1927, di usia muda 26 tahun, beliau mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI). Karena tulisan-tulisannya yang berpengaruh dalam membangkitkan semangat nasionalisme di kalangan rakyat Indonesia, pada tahun 1929, Bung Karno ditangkap oleh Belanda dan dipenjarakan di penjara Banceuy, Bandung. Setahun kemudian, beliau dipindahkan ke penjara Sukamiskin. Dari penjara, Sukarno merumuskan pidatonya yang fenomenal, Indonesia Menggugat. Sebuah pidato sejarah yang saya anggap masih sangat relevan sampai hari ini. Pada tahun 1938 hingga 1942, Bung Karno diasingkan ke Ende. Belanda, karena keadaan saat itu, hanya membebaskannya selama pendudukan Jepang di Indonesia pada tahun 1942. Selama waktu ini, beliau aktif bekerja untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia, merumuskan Pancasila dan Konstitusi 1945, serta meletakkan dasar bagi pemerintahan Indonesia yang baru. Dalam buku ini, saya ingin menarik perhatian Anda pada beberapa peristiwa sejarah yang berdampak signifikan pada jalannya negara dan bangsa kita. Yang pertama adalah keberanian Presiden Soekarno untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Seperti yang dapat kita bayangkan, pada saat itu, negara kita bisa dibilang tidak memiliki apa-apa. Tapi Presiden Soekarno berani mengumpulkan massa di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta dan membacakan pidato berikut: Saudara-saudara, rakyatku! Saya telah mengumpulkan Anda di sini untuk menjadi saksi salah satu peristiwa paling penting dalam sejarah kita. Selama puluhan tahun, kita rakyat Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita. Selama ratusan tahun, malah! Banyak dari gerakan kita untuk merebut kemerdekaan kita mengalami kemajuan dan kemunduran, tapi semangat kita tetaplah pada tujuan utama kita. Juga, selama kolonialisme Jepang, upaya kita untuk mencapai kemerdekaan kita telah tak kenal lelah. Mungkin tampak bahwa kita bergantung pada Jepang, tapi pada hakikatnya, kita bergantung pada tekad kita, pada kekuatan kita. Sekarang saatnya benar-benar untuk mengawal nasib bangsa kita, tanah air kita. Hanya bangsa yang berani mengendalikan nasibnya sendiri yang akan mampu berdiri teguh dan bangga. Jadi [hari ini], kita telah musyawarah dengan pemimpin-pemimpin Indonesia dari seluruh Indonesia. Kita telah mencapai kesepakatan bahwa sekaranglah waktunya untuk menyatakan kemerdekaan kita. Saudara-saudara! Maka dengan tegas kita menyatakan: Seseorang bisa membayangkan keadaan Bung Karno saat itu. Beliau dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Proklamasi ini memicu pemberontakan terhadap Pasukan Sekutu, yang merupakan pemenang Perang Dunia II dan memiliki senjata nuklir. Waktu itu kita tidak memiliki apa-apa. Senjata yang kita miliki adalah sisa-sisa persenjataan Belanda dan Jepang yang berhasil kita rebut. Peristiwa kedua yang berpengaruh dalam pembentukan Indonesia, dan bagiku, adalah pidato yang dibuat oleh Presiden Soekarno pada sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 1 Juni 1945. Pada saat itu, Presiden Soekarno berada di bawah tekanan besar untuk membuat dasar ideologi bagi negara Indonesia yang baru merdeka. Beberapa mendorong untuk dasar ideologi berdasarkan agama atau kelompok etnis tertentu. Tapi beliau dengan tenang memutuskan, di hadapan sidang, bahwa Indonesia akan didirikan berdasarkan Pancasila. Presiden Soekarno berkata: Kita ingin menciptakan negara untuk semua orang. Bukan untuk satu orang, bukan untuk satu kelompok, bukan untuk kaum bangsawan, bukan untuk orang kaya – tapi untuk semua orang! Republik Indonesia bukan milik satu kelompok, bukan milik satu agama atau kelompok etnis atau budaya tertentu, tapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke. Dalam buku ini, saya juga ingin membicarakan Bung Karno dari sudut pandang Profesor Soemitro, ayah saya. Pak Soemitro dikenal luas dalam sejarah Indonesia sebagai salah satu lawan politik Bung Karno yang lama. Pak Soemitro bahkan ikut serta dalam ‘pemberontakan’ PRRI/Permesta terhadap pemerintahan Presiden Soekarno. Karena saya adalah putra Profesor Soemitro, ada yang bisa mengatakan bahwa saya berasal dari keluarga anti-Soekarno. Tapi, yang menarik, Pak Soemitro selalu mengingatkan kami, anak-anaknya, bahwa ia menentang Bung Karno karena perbedaan pandangan politik, terutama tentang komunisme dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Beliau pernah mengatakan, ‘Tapi, anak-anakku, kalian harus semua ingat bahwa saya tidak pernah mengatakan bahwa Bung Karno bukan pemimpin hebat. Bung Karno adalah salah satu pemimpin paling luar biasa yang pernah dimiliki Indonesia. Bung Karno menyatukan ratusan suku, kelompok agama yang berbeda, faksi politik, dan adat kebiasaan untuk satu tujuan: Indonesia Merdeka.’ Pak Soemitro pernah memberitahu kami bahwa, jika bukan karena Bung Karno, kita mungkin tidak pernah mencapai kemerdekaan Indonesia yang bersatu tetapi malah berakhir dengan puluhan republik berbeda. Dan itu memang yang diinginkan oleh Belanda: melihat Indonesia terpecah belah menjadi puluhan negara yang berbeda. Begitu juga yang diharapkan oleh beberapa negara lain di sekitar kita. Itulah yang dikatakan almarhum ayah saya kepada saya. Selanjutnya, Pak Mitro menceritakan kepada saya bagaimana dia, pada awal 1950-an, mencoba meyakinkan Bung Karno agar tidak berkerjasama dengan PKI. Hingga suatu hari, Bung Karno kesal dengan Pak Mitro dan memarahinya. Bung Karno berkata kepada Pak Mitro, ‘Hey Mitro, ketika kau masih memakai celana pendek, aku sudah masuk dan keluar penjara. Ingat itu. Kamu hanya urusi ekonomi dan biarkan urusan politik padaku. Aku lebih memahami politik Indonesia daripada kamu.’ Pak Mitro memberitahu saya bahwa Sukarno benar. Saat Bung Karno pertama kali dipenjara, Pak Mitro baru berusia 15 tahun. Namun, menurut Pak Mitro, ‘Saya tidak bermaksud buruk. Saya hanya ingin Bung Karno tidak jatuh ke dalam perangkap. Saya yakin bahwa suatu hari PKI akan mengkhianati Bung Karno.’ Dalam hubungannya dengan Bung Karno, Pak Mitro juga menceritakan kepadaku bahwa sebenarnya, pilihan pertama Bung Karno sebagai WAPERDAM 1 (Wakil Perdana Menteri Pertama) suatu ketika adalah dirinya, bukan Dokter Subandrio. Tapi ketika dia ditawarkan posisi itu, dia sekali lagi meminta Bung Karno agar tidak berkerjasama dengan PKI. Bung Karno kesal dengan ketegasan Pak Mitro, dan beliau memilih Dokter Subandrio sebagai gantinya. Ketika Pak Mitro menceritakan kisah tersebut, saya berkata kepadanya, ‘Pak, saya pikir Anda melakukan kesalahan. Anda seharusnya tidak meninggalkan Bung Karno. Jika Anda berada di sisi beliau, Anda mungkin dapat mencegah manuver PKI.’ Pak Mitro memikirkan kata-kata saya untuk waktu yang cukup lama sebelum ia mengakui: ‘Ku kira kau benar, Bowo. Seharusnya aku tidak pernah meninggalkan Bung Karno.’ Beberapa tahun kemudian, saya mendengar dari adik saya yang lebih muda, Hashim Djojohadikusumo bahwa sekitar sebulan sebelum Pak Mitro meninggal, ketika beliau sedang sakit di tempat tidur, Pak Hashim bertanya kepada Pak Mitro, ‘Pak, apakah kamu memiliki penyesalan dalam hidupmu? Apa yang paling kamu sesali dalam hidupmu?’ Jawaban Pak Mitro adalah, ‘Ada satu hal yang paling aku sesali: aku meninggalkan Bung Karno. Aku seharusnya tetap di sisinya.’ Itulah pelajaran yang saya catat. Dan itu adalah norma di antara Generasi ’45 – mereka memiliki pandangan yang bertentangan, tetapi mereka saling menghormati. Juga, saya belajar bahwa kita harus selalu fleksibel dan seharusnya tidak terlalu kaku dalam pendirian kita karena, pada suatu titik, pendirian kita mungkin menjadi kurang relevan ketika dilihat dari konteks dan era yang berbeda. Ada satu hal lagi yang membuatku terkesan. Saya ingat ketika Pak Mitro membawaku ke Istana Merdeka ketika aku berusia lima tahun. Aku melihat Bung Karno berdiri di puncak tangga. Beliau tinggi, berpostur tegap, karismatik, dengan senyum lebar di wajahnya. Suaranya dalam, bergemuruh. Aku ingat bahwa beliau mengangkatku seakan akan aku akan dilemparkan ke udara. Lalu beliau menurunkanku kembali ke kaki-kaki. Saya tidak ingat secara tepat…

Source link