Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]
Ketika Rakyat Surabaya menerima ultimatum dari pasukan Inggris, Bung Tomo menanggapi dengan teriakan keras: ‘Allahuakbar’ dan ‘Merdeka atau mati’.
Kualitas kepemimpinan Bung Tomo terlihat dalam pidatonya yang disiarkan oleh RRI Surabaya pada November 1945. Dilaporkan, pidato ini disiarkan terus-menerus hingga pemuda Surabaya meraih kemenangan melawan Pasukan Sekutu. Mungkin tanpa pidato ini dan keterampilan Bung Tomo sebagai seorang orator, Indonesia tidak akan menjadi negara merdeka seperti sekarang.
Pada tanggal 10 November 1945, dan selama sepuluh hari setelahnya, rakyat Surabaya bertempur sengit di sekitar Surabaya, yang kini dikenal sebagai Kota Pahlawan.
Ketika membaca catatan sejarah tentang hari-hari tersebut, kita tidak bisa tidak merasa kagum dan bangga.
Pada awal berdirinya Republik, ketika Indonesia masih kurang persenjataan, rakyat, khususnya para pemuda arek-arek Suroboyo, memilih untuk tidak tunduk pada ancaman dan ultimatum yang dikeluarkan oleh pemenang Perang Dunia II.
Pada saat itu, Tentara Inggris memberikan ultimatum kepada rakyat Surabaya. Jika, dalam waktu 24 jam, para pemuda Surabaya tidak menyerahkan senjata mereka dan meninggalkan kota, Tentara Inggris akan menghancurkannya dengan kekuatan luar biasa dari tank, kapal perang, dan pesawat terbang mereka.
Kita bisa membayangkan beratnya pernyataan seperti itu. Ultimatum ini diberikan oleh tentara yang baru saja memenangkan Perang Dunia II. Namun, nenek moyang kita, pada usia yang sangat muda, menolak untuk diancam. Mereka bahkan tidak gentar. Mereka menolak ultimatum yang sombong itu.
Sebaliknya, mereka berseru ‘Allahuakbar’ dan ‘Merdeka atau Mati’. Mereka memilih untuk melawan pasukan Inggris daripada menyerah dan tunduk pada mereka.
Arek-arek Suroboyo, para pemuda Surabaya, sungguh patut kita kagumi dan hormati. Negara-negara yang mencela kita sebagai lemah, tertinggal, dan malas melihat bagaimana bangsa Indonesia tidak menyerah karena ancaman, intimidasi, dan kehadiran pasukan asing.
Pada tanggal 10 November dan hari-hari berikutnya, Tentara Inggris mengebom Surabaya dari segala arah. Akibatnya, puluhan ribu orang Indonesia kehilangan nyawa. Satu perkiraan menempatkan korban lebih dari 40.000 jiwa. Namun arek-arek Suroboyo, para pejuang kami, menolak untuk menyerah, meskipun menderita korban berat. Meskipun mayat berserakan di jalan-jalan dan parit serta sungai berubah merah dengan darah. Di Surabaya, para pejuang kami, para pemuda kami, didukung oleh seluruh rakyat Surabaya, terus bertempur dengan penuh keberanian di tengah hujan peluru dan hujan artileri berat.
Dalam pertempuran ini, selain Gubernur Suryo, yang ceritanya sudah saya ceritakan sebelumnya, dan Hario Kecik, yang akan saya ceritakan sekarang, Bung Tomo menjadi sosok sentral dan berpengaruh yang memimpin dari garis depan pertempuran.
Soetomo, atau Bung Tomo seperti banyak orang panggil, lahir di Surabaya pada tahun 1920. Pada masa mudanya, ia adalah seorang jurnalis lepas dengan harian Soeara Oemoem, harian Ekspres, mingguan Pembela Rakyat, dan majalah Poestaka Timoer.
Pada tahun 1944, ia dipilih sebagai anggota Gerakan Sosial Baru dan administrator Pemuda Republik Indonesia di Surabaya. Selain itu, pada bulan Oktober 1945, Bung Tomo juga memimpin Front Revolusi Rakyat Indonesia (BPRI) di Surabaya. Inilah awal dari keterlibatannya dalam Pertempuran 10 November. Dengan posisinya, ia bisa mengakses stasiun radio yang memainkan peran vital dalam penyiaran orasinya yang tegas yang membangkitkan semangat rakyat untuk berjuang dan mempertahankan Surabaya.
Kualitas kepemimpinan Bung Tomo terlihat dalam pidatonya yang disiarkan oleh RRI (Radio Republik Indonesia) Surabaya pada November 1945. Dilaporkan, pidato ini bahkan disiarkan secara terus-menerus, dan tidak berhenti hingga para pemuda Surabaya meraih kemenangan melawan Pasukan Sekutu:
Bismillahirrohmanirrohim… Merdeka!!!
Saudara-saudaraku, seluruh rakyat Indonesia, khususnya masyarakat Surabaya. Kita semua tahu, hari ini Pasukan Bersenjata Inggris telah membagikan pamflet dengan ancaman kepada kita semua.
Sebelum batas waktu yang mereka tetapkan, kita diminta menyerahkan senjata yang kita rebut dari Tentara Jepang. Mereka telah memerintahkan kita untuk mendatangi mereka dengan tangan teracung.
Mereka telah menyuruh kita mendekati mereka dengan bendera putih; untuk menunjukkan bahwa kita menyerah kepada mereka.
Saudara-saudari, dalam pertempuran-pertempuran sebelumnya, kita telah menunjukkan bahwa orang Indonesia Surabaya, pemuda-pemuda Maluku, pemuda-pemuda Sulawesi, pemuda-pemuda Bali, pemuda-pemuda Kalimantan, pemuda-pemuda Sumatra, pemuda-pemuda Aceh, pemuda-pemuda Tapanuli, dan pemuda-pemuda Surabaya sendiri, di pasukan mereka masing-masing, dengan tentara rakyat yang terbentuk di desa-desa, mereka telah membangun pertahanan yang tak terkalahkan. Mereka telah menunjukkan kekuatan yang mampu mengusir musuh dari mana-mana.
Saudara-saudari, musuh-musuh kita telah menggunakan taktik yang licik. Mereka mengundang Presiden dan pemimpin-pemimpin lain ke Surabaya, dengan harapan kita akan tunduk dan meninggalkan perjuangan kita. Namun sepanjang waktu itu, mereka telah membangun kekuatan mereka. Dan sekarang bahwa mereka kuat, inilah yang terjadi.
Saudara-saudari. Kita semua, rakyat Indonesia Surabaya, akan menerima tantangan Tentara Inggris. Dan jika pemimpin Pasukan Inggris di Surabaya ingin mendengar jawaban rakyat Indonesia, jawaban pemuda Surabaya, dengarlah dengan cermat.
Inilah jawaban kami. Inilah jawaban masyarakat Surabaya. Inilah jawaban pemuda Indonesia kepada kalian semua!
Hey, Pasukan Inggris! Kalian menyuruh kita membawa bendera putih dan menyerah kepada kalian. Kalian memberi tahu kita untuk membentuk barisan tunggal dan mengangkat tangan kita di depan kalian. Kalian mengatakan kepada kami untuk meletakkan senjata yang kita rebut dari Tentara Jepang dan menyerahkannya kepada kalian.
Kalian mengatakan kalian akan menggebuk kami dengan segala kekuatan militer kalian jika ultimatum kalian tidak dipenuhi. Inilah jawaban kami:
Selama kita, sapi-sapi Indonesia, masih memiliki darah merah dalam diri kita yang dapat kami gunakan untuk membuat sehelai kain merah putih, kita tidak akan menyerah. Kami menolak untuk menyerah pada siapa pun. Masyarakat Surabaya, siapkan diri untuk situasi yang genting ini! Namun saya peringatkan kalian sekali lagi: Jangan tembak peluru pertama. Hanya ketika kami ditembak, kami akan membalas tembakan mereka. Kami akan menunjukkan kepada mereka bahwa kami adalah orang-orang yang benar-benar merdeka.
Dan bagi kita semua, saudara-saudari, kita lebih baik hancur daripada dijajah. Moto kita tetap: Merdeka atau Mati! Untuk merdeka atau untuk binasa!
Dan kita yakin, pada akhirnya, kemenangan akan menjadi milik kita, karena Allah berada di pihak kita. Percayalah, saudara-saudari. Allah akan melindungi kita semua. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!!!