LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [MAJOR GENERAL TNI (RET.) SUHARIO PADMODIWIRYO (HARIO KECIK)]

by -868 Views

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]

Saya sangat terkesan dengan kehidupan Hario Kecik. Saya bercita-cita untuk mengubah kisah hidupnya menjadi film blockbuster suatu hari nanti, terutama perannya dalam Pertempuran Surabaya.

Saya terkesan bahwa seseorang tanpa latar belakang pendidikan militer bisa memiliki kepercayaan diri untuk melawan pemenang Perang Dunia II.

Jenis kepercayaan diri seperti itu memungkinkan kita untuk melewati ujian pertama kemerdekaan kita dan menjadikan kita bangsa. Pertempuran Surabaya mungkin merupakan ujian tersulit yang datang setelah proklamasi kemerdekaan.

Setelah Gubernur Suryo dan Bung Tomo, saya ingin bercerita tentang Hario Kecik. Setelah membaca buku hariannya pada tahun 2015, Memoar Hario Kecik: Otobiografi Seorang Mahasiswa Tentara, saya sangat terkesan dengan kisah hidupnya.

Beliau adalah seorang mahasiswa kedokteran yang tidak mengerti politik namun akhirnya menjadi seorang pejuang. Beliau adalah salah satu tokoh utama dalam Pertempuran Surabaya. Beliau merupakan bagian dari Tentara Pelajar Indonesia (TRIP) dan menjadi komandan Korps Mahasiswa Jawa Timur (CMDT).

Kisah Hario Kecik sangat menarik. Saya sangat mendorong setiap generasi muda Indonesia untuk membaca memoarnya. Terutama mengenai perannya sebagai seorang mahasiswa, kemudian mahasiswa kedokteran, seorang pejuang, dan akhirnya seorang perwira TNI berpangkat tinggi.

Beliau sempat dicurigai oleh rekan-rekannya dalam hidupnya, terutama oleh rezim Orde Baru. Mungkin karena pandangannya yang cenderung kiri; karena jiwa populisnya yang terbentuk oleh pengalamannya dalam perjuangan awal kemerdekaan Indonesia, terutama dalam Pertempuran 10 November di Surabaya.

Sebagai seorang pejuang muda, teman-temannya memilih Hario sebagai komandan karena ia pintar di sekolah dan fasih berbahasa Belanda dan Inggris. Beliau bertempur melawan Pasukan Sekutu pada momen-momen krusial dan penting, dari Oktober hingga November 1945.

Beliau memimpin hanya beberapa puluh orang namun terlibat dalam peristiwa dramatis dalam Pertempuran Surabaya, yang merupakan pertempuran paling sengit dan berdarah yang pernah dilakukan oleh bangsa Indonesia dalam perang kemerdekaan.

Setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, arek-arek Suroboyo, termasuk Hario Kecik, merebut senjata-senjata Jepang, senapan, senjata api, senjata mesin, dan meriam. Beberapa dari mereka bahkan tidak tahu cara menembakkan meriam-meriam tersebut. Namun, kita tahu bahwa banyak tentara Jepang yang membantu mereka. Beberapa tentara Jepang meninggalkan pasukan mereka dan bergabung dengan pejuang kemerdekaan.

Mereka yang membantu melatih anak-anak muda kita untuk menggunakan senjata seperti SMR, SMG, dan meriam. Juga, meriam-meriam pertahanan udara. Semuanya tertuang dalam memoar Hario Kecik.

Pada 1 Oktober 1945, beliau menulis bahwa sekelompok orang dan tentara dari Badan Keamanan Rakyat (BKR) mengepung markas Kempeitai (polisi militer Jepang) di Surabaya. Mereka bermaksud merebut senjata-senjata Jepang.

Hario menggambarkan kondisi saat itu:

Pada saat itu, saya sepenuhnya sadar bahwa saya hanyalah seorang prajurit kecil di tengah-tengah massa yang besar dan berani. Tidak ada komandan atau pemimpin. Hanya ada niatan untuk maju bersama untuk mengalahkan musuh. Kami semua adalah pemuda dari desa. Pakaian kami menunjukkan betapa miskinnya kami.

Setelah berhasil merebut senjata-senjata, Hario Kecik mendirikan Pasukan Tentara Keamanan Rakyat (PTKR), leluhur dari korps Polisi Militer TNI.

Peristiwa 10 November 1945, yang dimulai dari minggu ketiga dan keempat bulan Oktober 1945, merupakan ujian bagi proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Memang, kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, dinyatakan di Jakarta. Namun, Pasukan Sekutu menguji ketahanan proklamasi tersebut di Surabaya selama Pertempuran Surabaya. Mereka menguji apakah rakyat Indonesia mendukung penuh proklamasi kemerdekaan.

Dalam pertempuran tanggal 10 November 1945, setidaknya 30.000 orang Indonesia tewas. Diperkirakan lebih dari 5.000 tentara Inggris tewas dan terluka.

Kita memiliki 30.000 korban utamanya karena superioritas Pasukan Inggris dalam persenjataan modern. Pasukan Inggris mengirimkan lebih dari satu divisi, yang jumlahnya sekitar 35.000 orang. Mereka didukung oleh kapal induk, pesawat-pesawat tempur, kapal penjelajah, dan meriam-meriam. Anda dapat membayangkan kekuatan dan kekuatan tembak superior mereka dibandingkan dengan orang Indonesia, arek-arek Suroboyo.

Jika kita mempelajari sejarah peristiwa tersebut, kita bisa melihat bahwa semua pihak dari sisi Indonesia bersatu. Para pemuda bersatu dengan rakyat biasa, tukang becak, petani. Semua bersatu. Mereka merebut senjata-senjata dari pasukan Jepang dan mengorganisir diri dalam unit-unit perlawanan. Beberapa telah bergabung dalam batalyon-batalyon yang akhirnya membentuk TNI. Beberapa pasukan membentuk inti dari TNI pada tanggal 5 Oktober dengan nama TRI (Tentara Republik Indonesia). Jadi, sejumlah pasukan telah mengorganisir diri menjadi batalyon-batalyon resmi. Mereka adalah batalyon-batalyon bekas PETA. PETA adalah tentara sukarelawan yang diselenggarakan oleh Jepang, singkatan dari ‘Penegak Pertahanan Tanah Air’.

Juga ada Polisi Negara Republik Indonesia. Ada juga barisan muda, pasukan dari berbagai komunitas di semua. Beberapa terdiri dari siswa madrasah di Surabaya dan dari seluruh Jawa Timur. Ada juga kelompok yang terdiri dari para mahasiswa, termasuk Hario Kecik dan kawan-kawannya. Sangat menarik untuk mempelajari dinamika kelompok waktu itu.

Kembali ke Hario, saya terkesan bahwa seseorang tanpa latar belakang militer bisa memiliki kepercayaan diri untuk melawan para pemenang Perang Dunia II. Dalam memoarnya, menjelang serangan 10 November, Hario menulis:

Kami siap menghadapi apapun yang musuh hadirkan. Kami bukan ahli militer atau tentara profesional. Kami hanya ingin tetap merdeka.

Kami mengambil keputusan dan tekad yang disebutkan di atas dalam suasana yang sulit untuk dijelaskan. Saya tidak bisa dengan mudah menjelaskan ketegangan, optimisme, semangat, jiwa, kemarahan mentah di hati para pemuda yang berkumpul di tempat itu hanya dengan kata-kata.

Pada saat itu, saya juga terbawa suasana. Semuanya dimulai ketika saya bersama para pemuda, menggali parit pertahanan di halaman markas kami di Pasar Besar, ketika kami mendengar kapal perang Inggris tiba di perairan Tanjung Perak [pelabuhan Surabaya].

Pikiran rasional saya, atau tepatnya, ‘pikiran intelektual’ saya, mengatakan bahwa markas kami sulit untuk bertahan melawan serangan musuh karena lokasinya, pertahanannya yang lemah, dan faktor-faktor lainnya. Namun, kaum pemuda bertekad untuk mempertahankan markas sampai titik kelelahan.

Akhirnya, setelah ‘pikiran intelektual’ saya tunduk pada ’emosi’ atau ‘jiwa’, saya setuju dengan mereka. Kami hanya memiliki beberapa jam untuk bersiap.

Malam itu kami tidak membahas garis komando, logistik, dll. Kami sudah siap, dan tidak seorang pun dari kami ragu.

Kami menyatukan strategi-strategi rumit menjadi satu moto: Merdeka atau mati. Tidak ada yang mempertanyakan kekuatan musuh, dan tidak ada yang mempertanyakan kekuatan kami. Mungkin secara bawah sadar, kami semua dengan cepat memutuskan bahwa sudah terlambat untuk khawatir tentang itu. Kami harus melawan musuh besok.

Membaca memoar ini membuat saya merinding. Demikianlah semangat yang memungkinkan kita untuk mempertahankan kemerdekaan kita. Demikianlah semangat yang memungkinkan kita melewati ujian pertama kemerdekaan kita dan menyatukan kita sebagai bangsa. Mungkin ini adalah ujian pasca-kemerdekaan yang tersulit.

Saya selalu membayangkan bagaimana rasanya jika saya bisa berada di Surabaya pada saat itu. Apakah saya akan seberani Hario Kecik? Apakah saya akan sebersemangat Hario Kecik dan teman-temannya? Itulah beberapa pertanyaan yang selalu saya ajukan pada diri sendiri.

Itulah sebabnya, setiap kali saya memberikan ceramah atau melatih generasi muda, saya selalu menggunakan Hario Kecik sebagai ikon pemuda Indonesia yang teladan.

Pahlawan yang digambarkan oleh Hario Kecik begitu jelas. Ia menetapkan contoh bagi generasi berikutnya, contoh bagi setiap orang Indonesia.

Source link