Teknologi kecerdasan buatan (AI) tidak hanya bermanfaat untuk keperluan produktif, tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk tujuan jahat. Salah satu bentuk penyalahgunaan AI yang semakin marak saat ini adalah deepfake. Hal ini menjadi perhatian publik setelah kasus-kasus viral terjadi, termasuk salah satunya melibatkan seorang pemuda inisial SL yang diduga melakukan pelecehan dengan mengedit foto-foto perempuan menjadi konten asusila. Selain itu, penangkapan pelaku penipuan yang mencatut nama Gubernur Khofifah Indar Parawansa dengan menggunakan deepfake juga menjadi sorotan belakangan ini.
Dalam menghadapi tren penyalahgunaan AI seperti deepfake, pemerintah Indonesia perlu merumuskan strategi yang tepat. Wakil Menteri Komunikasi dan Digital Nezar Patria telah mengingatkan masyarakat akan bahaya konten deepfake yang semakin canggih. Beliau menyoroti kasus pemalsuan bukti transfer bank menggunakan AI untuk menipu nasabah. Saat ini belum ada regulasi khusus yang mengatur penggunaan AI, namun pemerintah telah menerbitkan Surat Edaran tentang Etika Kecerdasan Artifisial sebagai langkah awal.
Di samping itu, komunitas keamanan siber juga mendukung perlunya regulasi yang mengawasi penggunaan teknologi AI. Ahli keamanan siber Alfons Tanujaya menegaskan pentingnya penindakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran yang melibatkan AI. Deepfake porn, salah satu dampak negatif dari penyalahgunaan AI, juga menjadi perhatian di beberapa negara, termasuk Inggris yang mengajukan pemblokiran terhadap platform yang digunakan untuk membuat konten semacam itu.
Secara umum, upaya pemerintah dan dukungan dari ahli keamanan siber dalam mengatasi penyalahgunaan AI seperti deepfake adalah langkah yang perlu diambil untuk melindungi masyarakat dan memitigasi risiko negatif teknologi ini. Regulasi yang bersifat proaktif dan penindakan hukum yang konsisten bisa menjadi solusi dalam menghadapi tantangan yang ditimbulkan oleh perkembangan teknologi AI.