Ngertakeun Bumi Lamba 2025 di Gunung Tangkuban Parahu: Saat Kita Dituntut Tanggung Jawab pada Semesta

by -116 Views
Ngertakeun Bumi Lamba 2025 di Gunung Tangkuban Parahu: Saat Kita Dituntut Tanggung Jawab pada Semesta

Bumi yang Tak Pernah Lelah Memberi

Sabtu pagi, 22 Juni 2025, kabut di lereng Gunung Tangkuban Parahu seperti menunggu. Ribuan manusia datang membawa doa, mengenakan pakaian adat yang beraneka warna. Sunda, Dayak, Bali, Minahasa, semua hadir — bukan untuk berpesta, melainkan untuk berikrar: bumi harus tetap hidup, bumi tidak boleh dikhianati.

Ritual itu bernama Ngertakeun Bumi Lamba, sebuah warisan budaya Sunda yang mengajak kita kembali sadar bahwa bumi bukan milik kita seorang, melainkan titipan untuk generasi berikutnya.

Tradisi yang Menguji Nurani

Dalam bahasa Sunda, ngertakeun berarti merawat atau memuliakan. Sementara bumi lamba menunjuk pada tanah luas, semesta yang menaungi kita. Ritual ini diyakini telah berlangsung sejak masa kerajaan Sunda kuno, lalu dihidupkan kembali pada 1964 oleh R.M.H. Eyang Kanduruan Kartawinata, seorang yang paham benar bahwa manusia sering lupa siapa dirinya di hadapan alam.

Karinding mulai bergetar, suara angklung merayap di antara pepohonan, genta Bali, tabuhan Minahasa. Semua instrumen tradisi itu tak hanya mengisi telinga, tetapi juga menampar hati: sudahkah kita menjaga bumi dengan benar?

Kata-kata yang Menggugah

Para tokoh yang hadir tak berbicara banyak, tetapi setiap kalimat mereka seperti paku yang menancap di hati.

  • Bapak Wiratno: “Kita hanya peminjam. Dan peminjam yang baik selalu mengembalikan dalam keadaan lebih baik.”
  • Andy Utama: “Jangan pernah menghitung dengan semesta. Karena kalau semesta mulai menghitung dengan kita, kita tidak akan sanggup membayar.”
  • Mayjen Rido: menyebut ritual ini sebagai “pengadilan batin”.
  • Panglima Dayak: “Alam tidak butuh manusia. Tapi manusia tak akan pernah lepas dari alam.”
  • Panglima Minahasa: “Gunung adalah penjaga masa depan. Di sinilah Bhineka Tunggal Ika nyata. Di sini Pancasila hidup. Merdeka!”

Bukan Hanya Janji, Tetapi Aksi

Tidak berhenti pada janji, komunitas Arista Montana bersama Yayasan Paseban telah menanam lebih dari 15.000 pohon di kawasan Megamendung, Gunung Gede-Pangrango, hingga Tangkuban Parahu. Puspa, damar, bambu, rasamala — semuanya sebagai bukti bahwa ritual ini bukan sekadar seremoni, melainkan kewajiban nyata.

Baca juga: Andy Utama dan Cinta Bumi dalam Aksi Nyata

Pekikan Taariu: Janji yang Tak Boleh Pudar

Di ujung acara, Panglima Dayak memekik keras, “Taariu! Taariu! Taariu!” Tiga pekikan itu menggetarkan kabut, bumi, dan hati mereka yang hadir. Pekikan itu bukan sekadar teriakan, melainkan janji: bumi akan dijaga, leluhur akan dihormati, dan manusia tidak akan melupakan siapa dirinya.

Saat para peserta pulang, tak ada yang sama seperti saat mereka datang. Di hati mereka sudah tertanam satu kewajiban: bumi ini hanya bisa dijaga oleh manusia yang berani bersujud di hadapannya, bukan yang merasa lebih tinggi darinya.

Sumber: Ngertakeun Bumi Lamba: Upacara Adat Nusantara Untuk Cinta Kasih Semesta Dan Pelestarian Alam