Mayor Elias Daan Mogot – prabowo2024.net

by -89 Views

Pada bagian ini, saya ingin berbagi cerita tentang kedua paman saya, sebelum saya bercerita tentang teman seperjuangan mereka. Ketika saya masih kecil, kakek saya, Margono Djojohadikusumo, sering bercerita tentang kedua putranya, yaitu paman saya Subianto dan Sujono.

Setelah kemerdekaan, Subianto dan Sujono bergabung dengan tentara. Salah satunya langsung menjadi perwira. Subianto lulus dari Fakultas Kedokteran dan mungkin karena latar belakang pendidikannya, dia langsung menjadi perwira. Sementara Sujono masuk ke Akademi Militer Tangerang.

Di rumah kakek saya, di Jalan Taman Matraman No. 10, yang sekarang bernama Jalan Taman Amir Hamzah, di Jakarta, terdapat ruangan khusus untuk Subianto dan Sujono. Kamar kedua paman saya itu di Taman Matraman waktu itu dijaga dengan baik. Ransel mereka, helm mereka, sepatu mereka semuanya masih dipertahankan di sana. Setiap kali saya berkunjung ke rumah kakek pada hari Minggu, dia sudah menyiapkan tenda milik Subianto untuk dipasang kembali. Saya pun sering diminta untuk bermain di tenda-tendaan. Kakek membawa saya ke kamarnya, dan menunjukkan ransel, sepatu, helm, serta tempat tidurnya.

Dua paman saya gugur dalam pertempuran melawan tentara Jepang di Lengkong, Tangerang Selatan pada tahun 1946. Mereka gugur bersama dengan rekan-seperjuangan mereka, Daan Mogot, seorang Mayor yang pada usia 17 tahun mendirikan Akademi Militer Tangerang.

Elias Daniel Mogot, atau lebih dikenal dengan nama Daan Mogot, adalah seorang perwira Tentara Republik Indonesia (TRI) yang sangat cemerlang karirnya. Ia menjadi Mayor pada usia 16 tahun setelah mengikuti pendidikan Pembela Tanah Air (PETA) pada usia 14 tahun.

Daan Mogot lahir di Manado pada tahun 1928. Ia bergabung dengan pasukan PETA pada masa pendudukan Jepang pada tahun 1942, meskipun pada waktu itu dia belum memenuhi syarat usia 18 tahun yang ditetapkan oleh pemerintah militer Jepang.

Namun, berkat kecerdasan dan prestasinya selama pendidikan militer, ia kemudian menjadi pembantu instruktur PETA di Bali pada tahun 1943 setelah dilantik menjadi perwira PETA. Bersama dengan beberapa perwira PETA lainnya, Daan Mogot, Zulkifli Lubis, dan Kemal Idris mendirikan sekolah untuk melatih calon anggota PETA di Bali.

Pada tahun 1944, Daan Mogot ditugaskan sebagai staf Markas Besar PETA di Jakarta hingga Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945. Setelah proklamasi kemerdekaan RI, Daan Mogot bergabung dengan Barisan Keamanan Rakyat (BKR) dan mendapat pangkat Mayor, padahal usianya baru 16 tahun.

Dengan pengalaman sebagai pelatih PETA di Bali, Daan Mogot bersama rekannya berhasil mengusulkan pendirian Akademi Militer. Usulannya dipertimbangkan oleh Markas Besar Tentara (MBT) di Jakarta, dan akhirnya pada bulan November 1945, Militaire Academie Tangerang (MAT) didirikan.

Berkat ketekunan dan keberhasilannya dalam memimpin pasukan, ia ditugaskan sebagai direktur Akademi Militer Tangerang yang pertama. Tugasnya adalah mendidik calon-calon perwira Indonesia untuk ambil bagian dalam perjuangan merebut kemerdekaan.

Pada akhir Januari 1946, pasukan Belanda dan KNIL menduduki Parung dengan maksud merebut depot senjata tentara Jepang di Lengkong. Pada tanggal 25 Januari 1946, pasukan di bawah pimpinan Daan Mogot berangkat dengan kekuatan 70 kadet MA Tangerang dan 8 tentara gurkha. Misi operasi ini adalah untuk mencegah senjata tentara Jepang yang sudah menyerah jatuh ke tangan tentara Belanda.

Sekitar pukul 16.00 WIB, pasukan tiba di markas Jepang. Keberadaan empat serdadu gurkha berhasil membuat pihak Jepang yakin bahwa rombongan mereka adalah gabungan TKR dan Sekutu. Sementara Mayor Daan Mogot masuk ke kantor Kapten Abe untuk menjelaskan maksud kedatangannya.

Pada saat yang sama, di luar, para taruna di bawah Lettu Subianto dan Lettu Soetopo tanpa menunggu hasil perundingan langsung merebut senjata Jepang. Meskipun senjata-senjata Jepang tersebut berhasil dikumpulkan, tiba-tiba terdengar suara tembakan. Suara tembakan ini menyebabkan kepanikan di pihak Jepang, dan mereka mulai menembaki para taruna MAT yang menurut mereka telah menjebak mereka. Para taruna MAT mencoba melawan dan melepaskan tembakan, namun pertempuran dianggap tidak seimbang. Pertempuran berakhir saat hari mulai gelap. Para prajurit yang masih hidup ditawan, sementara beberapa di antaranya berhasil melarikan diri. Mayor Daan Mogot, Lettu Subianto Djojohadikusumo, Kadet Sujono Djojohadikusumo, dan dua perwira dari Polisi Tentara serta 33 prajurit tewas dalam pertempuran. Kedua paman saya, Subianto berusia 21 tahun, dan Sujono berusia 16 tahun. Peristiwa ini sekarang dikenal dengan sebutan Pertempuran Lengkong.
Sumber: https://prabowosubianto.com/mayor-elias-daan-mogot/

Source link